Selasa, 11 Januari 2011
Ini emang ide gila yang pernah kuungkapkan seumur hidupku. Aku menyuruh Dimas cowok tercintaku untuk mencari cewek lain. Semua kulakukan bukan karena aku tidak cinta lagi padanya tapi beasiswa yang kudapat dari kantor papa untuk melanjutkan sekolah ke Aussie mengharuskanku untuk berpisah sementara darinya Menurutku lebih baik Dimas mencari pacar baru dengan sepengetahuanku daripada aku sudah setia padanya tapi saat kembali aku melihatnya sudah dengan cewek lain.
“ Kamu tuh udah gak waras ya, Nad ?” ujar Dimas marah saat kuungkapkan ide gila itu.
“ Aku cuma gak siap aja kalo nanti saat kembali harus lihat kamu udah sama cewek lain “ ujarku pelan.
“ Kamu pergi khan cuma setahun, lagipula kamu pikir aku bukan cowok setia “ tukasnya masih dengan nada tinggi.
“ Kata orang hubungan jarak jauh itu riskan banget ama perselingkuhan.” lanjutku dengan nada gamang.
“ Kamu kali yang bakalan selingkuh bukan aku “ rutuknya sambil merengut.
Aku cemberut. Entah kenapa aku ngotot ingin sekali melihatnya dekat dengan cewek lain sebelum pergi. Aku tidak ingin selama disana diliputi ketakutan apakah Dimas selingkuh atau tidak. Jadi lebih baik perasaan sakit itu dirasakan sekarang daripada nanti.
“ Nadia, aku tahu Australia itu jauh dan belum tentu dalam setahun itu aku bisa jenguk kamu, tapi sekarang khan jaman udah canggih ada telepon atau internet dan kita bisa berhubungan kapan aja “ urai Dimas panjang lebar.
“ Tapi itu khan terbatas” potongku.
“ Sekarang aja gak setiap hari kita jalan bareng meski satu sekolah, kita sama – sama punya teman dan hobi masing – masing jadi gak ada bedanya .” jelasnya seolah membaca perasaanku.
Aku terdiam lama. Dimas meraih tanganku.
“ Kamu cuma lagi khawatir kehilangan aku karena kita bakalan terpisah tapi seiring dengan waktu nanti juga terbiasa” bujuknya.
“ Iya, terbiasa tanpa aku !” sungutku.
“ Tuuh khan …. Kamu jangan parno gitu dong ! pacar kamu dukung untuk maju malah disuruh yang aneh – aneh “ ujarnya sambil mengelus rambutku.
“ Kamu pacaran sama Rani aja, ya Dim ! dia sahabatku yang paling baik kok !” usulku dengan perasaan tak berdosa.
Dimas langsung melotot dan berdiri lalu meninggalkanku tanpa bicara apapun. Ia benar – benar marah atas usulan gilaku. Tidak diperdulikannya suaraku yang berteriak memanggil namanya.
***
Kemarahan Dimas terus berlanjut. Sudah tiga hari kami tidak saling tegur sapa. Aku main ke kelasnya dicuekin, telepon gak diangkat dan sms gak dibalas. Aku tahu aku salah tapi aku ingin ia mengerti apa yang kurasakan. Aku yakin sekali kami sama – sama tidak bisa mempunyai hubungan jarak jauh. Aku cuma ingin saat kutinggalkan ia sudah bersama dengan cewek lain yang menurutku pantas dijadikan pacarnya. Setidaknya walau aku tidak bersama dengannya aku masih bisa mendengar dan melihat dia bahagia dengan orang yang aku kenal.
“ Lo emang pacar yang aneh, Nad ! punya cowok sebaik Dimas malah disuruh pacaran ama cewek lain, pantas aja kalo dia marah “ omel Ika teman sebangkuku.
“ Trus sekarang harus gimana ? gue udah kirim sms minta maaf tapi gak ditanggapi dia malah makin cuek ama gue “ keluhku.
“ Rasain lo ! sekarang gue rasa kalian bubar beneran.”
Ada yang sakit diujung hatiku mendengar kalimat Ika. Apa mungkin Dimas semarah itu dan ujungnya kami putus ?. Duuh aku belum siap mendengar kata putus darinya. Apalagi semuanya gara – gara keinginanku. Waktu keberangkatanku tinggal dua minggu lagi. Haruskah dalam dua minggu ini aku kehilangan dirinya ? bukan ini yang kuharapkan. Aku tidak ingin pisah darinya dalam keadaan bermusuhan. Aku ingin saat pergi ia sudah bersama seseorang yang kuanggap bisa menjaganya seperti saat aku bersamanya.
Aku sedang membereskan buku – buku untuk dibawa saat Rani muncul di pintu kamar.
“ Tahu aja lo kalo gue lagi butuh bantuan” ledekku.
“ Gue tahu pasti dua minggu ini lo bakalan sibuk makanya gue kesini “ ujarnya seraya mulai membantuku memilah buku.
” Gimana kabar Dimas ?” tanya Rani pelan.
” Gak tahu, udah beberapa hari ini gue gak ketemu dia ”
” Kalian sedang bertengkar ?”
” Enggak ! Cuma akhir – akhir ini gue sibuk banget ngurus kepindahan gue, jadinya rada cuek ke dia ” ujarku bohong.
“ Hm, sebenernya ada yang mau gue omongin “ ujarnya serius.
“ Waduh ngomong lo jangan sok serius gitu dong !’ candaku sambil mencubit pipinya.
“ Nad, Dimas minta gue jadi pacarnya “ ujarnya pelan tanpa menatap wajahku.
Sontak buku yang ku pegang jatuh kebawah. Aku tak percaya atas apa yang diucapkan Rani barusan. Tempo hari aku memang menyuruh Dimas untuk menjadikan sahabatku ini pacar barunya. Aku sama sekali tak menyangka jika keinginanku itu sekarang dibuktikan.
“ Nad, gue minta maaf atas ucapan gue barusan, gue juga masih bingung kenapa Tiba – tiba Dimas minta gue jadi pacarnya, memangnya kalian sudah putus ?” tanyanya melihatku masih bengong.
“ Gue …. “ aku bingung harus mulai darimana. Ini semua ideku dan Rani tidak boleh tahu jika Dimas ingin menjadikannya pacar karena keinginanku.
“ Hm, iya kami udah putus ! gue takut gak bisa setia selama di Aussie jadi lebih baik kita pisah “ terangku bohong.
“ Tapi kalian putus baik – baik khan ? gue gak mau orang lain menyangka gue merebut Dimas dari lo ?” tanyanya lagi.
“ Emangnya lo mau jadi pacarnya dia ?” tanyaku mulai panik.
Rani tersipu malu seraya mencubit pipiku.
“ Siapa sih yang gak mau punya pacar seganteng dan sebaik Dimas, gue aja suka iri lihat kalian berdua “ ujarnya sambil tertawa.
Saat ini rasanya aku sedang tidak menapak bumi. Ya Tuhan inikah rasanya patah hati. Ada yang hancur lebur di lubuk hatiku yang paling dalam. Inikah balasan yang kuterima akibat ulahku. Aku sama sekali tidak menghargai cinta Dimas hingga akhirnya ia memilih pergi dariku dan menuruti semua keinginanku. Ku tahan nafas menahan detak jantung yang bertubi – tubi. Di hadapanku terlihat wajah Rani yang masih merona bahagia.
***
Semangatku untuk melanjutkan sekolah keluar negeri rasanya sudah lenyap. Aku tidak ingin kehilangan Dimas. Aku tidak ingin kehilangan cintanya. Ide gilaku tempo hari ternyata kini membunuhku. Sekarang apa yang harus kulakukan? semuanya berjalan sesuai keinginanku. Harusnya aku senang Dimas punya pacar baru yang sudah ku kenal baik hingga aku tak perlu cemas. Tapi kenapa hatiku terasa berdarah ? kenapa hatiku rasanya makin hampa ?.
“ Udahlah gak usah ditangisin, semuanya udah terjadi dan sesuai keinginan lo khan ? “ ujar Tika melihatku berurai air mata.
“ Sakit banget rasanya, Tik !” isakku.
“ Mudah – mudahan di aussi lo ketemu cowok yang jauh lebih baik dari Dimas, apalagi kalo dapat cowok bule “ ujarnya berusaha menghibur.
Aku tersenyum tipis mengingat kini Rani sering cerita soal hubungannya dengan Dimas. Dimas memang cowok yang perhatian pada pacarnya jadi wajar saja jika Rani merasa tersanjung. Ia memanjakan Rani dengan hadiah kecil, jalan bareng ke tempat yang dulu biasa kami datangi dan mau mengantar Rani kemana saja Sebenarnya aku tidak tahan mendengarnya tapi apa boleh buat semuanya terjadi atas ijinku. Sikap Dimas padaku lebih menyakitkan, ia seolah tidak pernah mengenalku. Jika kami bertemu di sekolah tak sekalipun ia memperlihatkan sikap ramah. Aku hanya bisa menahan nafas dan menerima resiko atas apa yang telah kuperbuat
***
Ini malam terakhir aku berada di Jakarta. Besok siang aku sudah harus berangkat. Sampai detik ini Dimas tidak menghubungiku meski untuk mengucapkan selamat tinggal. Kupandangi foto kami berdua untuk yang terakhir kali sebelum kumasukan ke dalam laci meja. Semuanya sudah selesai sesuai apa yang kumau. Besok aku harus memulai hari baruku tanpa Dimas.
“ Nad, ada Rani dan Dimas di depan “ teriak mama dari luar kamar.
Duuh, mau apa mereka kemari. Aku benar – benar tidak sanggup melihat mereka berdua. Aku yakin mereka ingin mengucapkan selamat tinggal sekaligus berterima kasih atas kebaikanku menerima mereka sebagai pasangan.
“ Hai, Nad ! masih beberes ya “ sapa Rani ramah.
“ Iya, persiapan buat besok “ jawabku pelan.
Ada yang membuncah di dadaku melihat Dimas duduk di samping Rani. Hatiku semakin sakit. Lebih baik aku pingsan dan tidak bangun lagi daripada harus melihat mereka. Kepalaku tiba – tiba pusing bayangan Dimas dan Rani mulai mengabur. Ada apa ini kenapa semuanya jadi buram ?
” Nad lo gak apa – apa ?” tanya Rani cemas sambil memegang tanganku
Aku menggeleng lemah. Ku pijit kepalaku yang makin berdenyut sakit.
” Kecapean kali !” ujar Dimas pelan.
Aku menatapnya lama. Apakah aku benar – benar kehilangan dirinya ? apakah cinta yang selama ini ada diantara kami begitu mudah ia lupakan ? apakah kenangan yang terjalin dan terajut begitu indah sudah dikuburnya ? apakah tidak ada setitikpun rasa kehilangan aku ? ingin rasanya kuteriakkan semua kalimat itu padanya. Pancaran mata itu benar – benar sudah bukan untukku lagi. Ku tarik nafas dalam dan menutup mata seraya berharap Tuhan memberikan kekuatan, tapi saat kubuka mataku aku tak melihat apa – apa. Kenapa semua menjadi gelap ?
Entah berapa lama aku tertidur. Ketika tersadar aku sudah berada di atas tempat tidurku.
“ Kamu pingsan hampir satu jam,Nad ! kamu kenapa ?” tanya mama cemas.
Aku menggeleng lemah.
“ Kalau kamu gak siap untuk pergi besok , bisa ditunda kok “ tambah papa.
Aku menggelengkan kepala seraya meyakinkan mereka bahwa aku tidak apa – apa cuma kecapean karena sibuk mengurus segala keperluanku. Mereka bilang jika Rani dan Dimas pamit pulang karena takut mengganggu istirahatku.
***
Bandara Soekarno Hatta ramai dengan penumpang yang hilir mudik. Kulirik jam tangan setengah jam lagi aku berangkat. Aku memang pecundang sejati yang tidak mau berjuang untuk mempertahankan cinta. Seandainya aku tidak membuat ide gila itu mungkin saat ini Dimas ada disisiku untuk mengantar. Ah sudahlah, tidak ada yang perlu disesali setidaknya aku masih tetap bisa mendengar kabar tentangnya dari Rani. setidaknya aku tahu keadaan dirinya akan selalu baik – baik saja karena aku percaya Rani tidak akan menyakiti hatinya. Tak ada satupun benda yang mengingatkanku akan Dimas kubawa. Aku ingin memulai hari baruku tanpa Dimas. Biarlah Dimas menjadi sebuah kenangan yang tidak akan pernah kulupakan.
” Udah siap ?” tanya Papa menyadarkan lamunanku.
Aku mengangguk lalu berdiri dan mengambil tasku.
” Nadya ........ ! ” suara teriakan seseorang dari belakang menahan langkahku. Terlihat Ika, Rani, Sisil, Virni dan teman – teman sekelasku yang lain. Aku juga melihat bayangan Dimas diantara mereka.
” Aduhh ... kalian gimana sih ! gue khan udah udah bilang jangan dianter ” seruku karena jauh – jauh hari aku berpesan untuk tidak mengantarku, karena akan membuatku sedih.
” Siapa yang mu nganter lo ? kita kesini cuma pengen main trus foto – foto buat di pesbuk ” jawab Sisil centil.
” Iya, trus ngeliat lo kayak mau pergi gitu ! ya udah kita samperin ” tambah Ika.
Aku menggeleng melihat mereka berdalih memberikan alasan. Ku lirik sekilas Rani yang tampak asyik ngobrol dengan Dimas. Aku menghela nafas panjang melihatnya.
” Kalo ada bule kece langsung paketin ke gue ya !” seru Ika setelah melihat ada kabut yang bermain dimataku.
Aku mengangguk sambil tersenyum.
” Ayo kita antar Nadya sekarang ” seru Ivan cowok paling rame dikelasku setelah mendengar pengumuman dari operator bandara.
Aku memeluk temen – temanku satu demi satu. Keharuanku tidak terbendung lagi, meski aku hanya pergi selama setahun tapi tetap saja aku merasa kehilangan dengan semua canda tawa meraka.
” Jaga diri lo baik – baik ya, kalo pengen curhat tinggal online .... online ” seru Rani ceria.
Aku tertawa mendengar candanya.
” Gue titip Dimas ya !”ujarku pelan. Akhirnya aku tak tahan dengan perasaanku sendiri. Meski untuk yang terakhir kalinya aku tetap tidak bisa membhongi perasaaanku.
Rani tertawa lalu memelukku kembali.
” Dimas gak akan kemana – mana Nad, Cintanya masih buat lo ” bisiknya pelan.
Kulepas pelukannya lalu menatap Rani heran. Dimas menghampiriku lalu memberikan bngkusan kado berwarna pink. Aku menatapnya tidak mengerti.
” Kalo kamu kangen sama aku peluk boneka ini aja ya ” ujarnya sambil tersenyum lalu mengacak rambutku. Aku masih terpana menatapnya.
” Lo gak bisa bohongin perasaan lo sama gue, Nad ! kemarin itu Dimas lakuin cuma pengen tahu perasaan lo sesungguhnya ” terang Rani.
” Jadi ?” tanyaku masih tak mengerti.
Dimas memelukku disertai suara riuh anak – anak.
” Ternyata cinta kamu masih untukku, aku akan disini menunggu kamu pulang” bisik Dimas lembut di teligaku.
Ada yang luruh di hatiku dan itu bahagia. Ku tatap wajahnya mencari kesungguhan disana. Dimas menggangguk pasti lalu mengacak kembali rambutku. Kini air mataku benar benar jatuh. Ternyata membohongi perasaan sendiri sangat tidak enak rasanya . Biarlah waktu yang akan menguji perjalanan cintaku karena aku yakin saat jarak memisahkan aku dan Dimas bisa melewati itu semua.
***
Dimuat di Majalah TEEN 2010
Tidak ada komentar :
Posting Komentar