Minggu, 22 September 2013

RASA YANG TERTINGGAL

Rabu, 01 Juni 2011

 

Bau yang menyengat, kotor, becek, dan sumpek langsung terhampar di hadapanku. Tak mungkin orang yang kucari ada disini. Ira pasti salah lihat ! tak mungkin Andre bekerja di tempat seperti ini. ku tutup hidung dengan saputangan untuk menghalau bau amis yang menyebar.
Suara riuh dan suitan jahil terdengar dari kanan dan kiri. Kulanjutkan langkah mencari sosok Andre diantara puluhan orang dipasar tradisional ini. Sepatu mahalku sudah tidak jelas warnanya , begitu juga aroma parfum yang sudah bercampur dengan asap knalpot dari bajaj, motor dan mikrolet. Kulitku mulai memerah karena terpanggang matahari, keringat mengucur deras dari dahi. Sepertinya seluruh sudut pasar ini sudah kutapaki tapi tetap tidak kutemukan dirinya.
“ Bu, mau tanya apa disini ada kuli panggul yang namanya Andre umurnya 23 tahun, tinggi, rambutnya pendek dan kulitnya putih ?” tanyaku pada ibu penjual sembako.
“ Setahu saya kuli disini cuma Ijul, Parjo, Adul, Eman dan kulitnya hitam semua “ jelas si Ibu sambil tertawa seolah tidak percaya atas pertanyaanku.
Aku tersenyum. Andre memang tidak pernah kerja disini sebelumnya. Ia adalah mahasiswa semester akhir di sebuah universitas ternama di Jakarta. Ayahnya seorang pengusaha dan ibunya Manager di bank swasta. Hobinya mengendarai motor mengantarkannya menjadi salah satu pembalab yang mulai punya nama. Beberapa kali ia memenangkan kejuaaran dari mulai tingkat yunior hingga nasional.
Tapi semua itu sirna sejak kecelakaan tragis menimpanya saat pulang latihan. Karena terlalu lelah ia tidak konsentrasi membawa laju motor dan akhirnya bertabrakan dengan truk dari arah yang berlawanan. Hampir dua bulan ia dirawat karena keadaannya yang serius. Gegar otak, tangan kanannya retak, tulang kaki kirinya patah hingga harus dioperasi. Yang lebih mengenaskan dokter tidak mengijinkannya balapan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.
Vonis dokter membuatnya syok. Semangat hidupnya hilang. Ia berubah menjadi sosok penyendiri, pendiam, mudah tersinggung dan gampang sekali marah. Tak lagi kutemukan senyum, sapa mesra hingga rayuan yang dulu membuatku jatuh hati padanya. Andre berubah menjadi sosok yang tidak kukenal. Seringkali ia mengusirku saat menjenguknya. Lain waktu aku melihat ia membentak dan marah – marah pada kedua orang tuanya.
Sekian bulan aku dan keluarganya terus mencoba berbagai cara untuk mengembalikan semangat hidupnya. Aku bahkan rela datang setiap hari untuk menunjukkan sayangku padanya. Sepertinya semua usaha itu sia- sia, puncaknya ia malah nekat kabur dari rumah. Sudah puluhan kali aku menerima info tentang keberadaannya. Dimanapun tempatnya pasti kudatangi. Mall, restoran, halte, stasiun hingga pasar tapi hingga hari ini tetap tak bisa kutemukan sosoknya.
Dimana kamu, Dre ? apa kamu tidak tahu masih banyak orang yang sangat menyayangimu. Terbayang kembali wajah lelah mamamu saat kemarin aku menjenguknya. Ia rela berhenti dari pekerjaanya untuk konsentrasi mencari dirimu. Tak kulihat lagi wajah cantik yang selalu dihiasi make up. Lingkaran hitam tampak jelas dibawah mata pertanda jika ia tidak tidur dengan baik. Aku sampai membatasi waktu kunjungan untuk menjenguknya, bukan karena tidak sayang tapi karena aku tidak sanggup melihat gulir bening yang mengalir dari wajah cantiknya tiap kali menyebutkan namamu.
Andre, tidak bisakah cinta kami membuatmu kuat melewati cobaan ini ? ingin aku berteriak sekeras – kerasnya memberitahumu bahwa kamu tak sendirian.
***

SETAHUN KEMUDIAN
Gundukan tanah merah bercampur bunga terhampar di depanku. Airmataku sudah lama mengering. Luka di hati juga sudah mulai terkikis. Aku memilih pasrah melewati semua ini, tapi tidak dengan Tante Mira. Kepergian Andre membuatnya kehilangan separuh jiwanya. Hampir setahun ia harus bolak – balik masuk rumah sakit hingga akhirnya Tuhan memilih menjemputnya terlebih dahulu. Mungkin Tuhan tidak ingin membuat Tante Mira hidup dalam penantian yang menyiksa dirinya.
“ Terima kasih untuk semuanya sekarang sudah saatnya kamu melanjutkan hidupmu “ ujar Om Adi lirih seraya menepuk pundakku.
Om Adi menarik nafas. Wajah itu terlihat jauh lebih tua dari usianya. Betapa malang dirinya harus ditinggalkan oleh dua orang yang dikasihinya.
Hidup terus berlanjut dan aku tak mau larut dalam kesedihan, cukup Tante Mira yang menderita akibat kepergian Andre. Om Adi memutuskan untuk pensiun dini dan kembali ke kampung halamanya sedangkan aku menyibukan diri dengan kuliah. Besok aku akan memulai tugas pertamaku sebagai tenaga pengajar di sebuah desa kecil di Semarang. Aku ingin sejenak keluar dari kecemasan, kesedihan hingga luka karena penantian yang tak berujung ini. Aku sengaja mengambil kuliah kerja lapangan yang jauh dari hiruk pikuk ibukota.
Hamparan sawah yang menguning, burung yang berkicau hingga udara yang segar menelusup memenuhi rongga jiwa. Rumah semi permanen, lantai semen hingga dipan yang beralaskan kasur tua menjadi tempat tinggalku. Tidak ada TV plasma,AC apalagi kulkas. Untunglah masih ada listrik hingga aku bisa membawa laptop dan beberapa buku bacaan. Rumah ini disediakan untuk tenaga pengajar yang berasal dari luar kota. Mulai malam ini aku tidur dengan ditemani nyamuk, suara tokek dan jangkrik hingga angin yang berhembus kencang melewati sela – sela jendela yang mulai rapuh.
Ketakutanku menghadapi kenakalan anak – anak ternyata tidak terbukti. Semua muridku penurut dan sangat antusias dalam belajar. Aku terharu melihat mereka begitu sigap menjawab pertanyaan atas pelajaran yang sudah kuajarkan. Meski hanya beralaskan sandal dan seragam lusuh mereka tetap semangat.
Sore harinya aku di ajak Ningsih teman baruku yang sudah setahun lebih dulu mengajar berkeliling desa untuk dikenalkan pada penduduk. Keramahan dan kepolosan sangat terasa hingga aku tidak canggung berada diantara mereka. aku juga dikenalkan oleh anggota karang taruna yang berada dibalai desa. Para pemuda disini mengadakan banyak kegiatan dari mulai kesenian, olahraga hingga pengajian. Sore itu sedang ada latihan karate yang dikuti sekitar lima belas anak. Ningsih mengajakku untuk melihat mereka berlatih.
“ Yang mengajar itu namanya Mas Aan “ terang Ningsih menunjuk seorang pemuda yang memakai kaus hitam, bertubuh tinggi kurus, berambut gondrong, dan berkulit sedikit hitam. Wajahnya dihiasi jambang dan kumis yang lumayan lebat hingga memberi kesan angker.
“ Wajahnya sih serem tapi orangnya gak seseram itu kok !” ujar Ningsih seolah membaca pikirnaku.
“ Capek ya Mas Aan !” sapa Ningsih ramah. Sosok itu mengangkat wajahnya ia menatapku lama sebelum akhirnya bangkit.
“ Ini guru baru di sekolah kita “ terang Ningsih.
“ Vina !” sapaku ramah seraya mejulurkan tangan.
“ Aan “ jawabnya singkat membalas jabatan tanganku.
Selain mengajar karate ternyata Mas Aan juga menjadi guru bahasa Inggris. Hingga akhirnya aku datang ia akan tetap mengajar tapi hanya untuk dua kelas sedangkan sisanya adalah tugasku.
“ Mas Aan itu baik sekali, ia mau lho kasih les privat tanpa dibayar “ ujar Ningsih menguraikan kekagumannya.
Aku menganggukan kepala.
“ Jadi guru karate aja dia dibayar semaunya tapi gak pernah protes, pokoknya dia guru paling baik disini “
“ Kamu naksir dia ya ?” tembakku melihatnya begitu bersemangat menceritakan perihal Mas Aan. Ningsih tersipu malu.
“ Semua gadis disini juga naksir dia mbak ! tapi sayang orangnya dingin dan cuek kalo sama perempuan, dia baru bisa tertawa jika sudah sama murid – muridnya “ urainya.
Aku tersenyum tipis. Baru dua hari disini ternyata sudah ada kumbang desa yang jadi rebutan. Padahal dilihat fisiknya Mas Aan tidak cukup layak untuk diperebutkan. Mungkin rendah hati dan kebaikanya yang sudah membuat gadis di desa ini tercuri hatinya.
Tak terasa sudah dua bulan aku mengajar dan makin merasa nyaman. Warga desa menerimaku dengan sangat baik. Selama itu tak sekalipun aku kembali ke Jakarta meski untuk sekedar liburan. Aku lebih senang menghabiskan waktu dengan memberi tambahan pelajaran, belajar menganyam tikar, menanam padi hingga bercocok tanam. Tak kuperdulikan lagi kulit putihku berubah menjadi coklat karena terpanggang matahari. Aku sedang membereskan buku anak – anak saat melihat Mas Aan memperbaiki motor yang biasa dikendarainya. Memang cuma dia orang di desa ini yang bersikap dingin. Ia hanya mau bicara seperlunya itupun pada orang tertentu.
“ Motornya rusak mas Aan ?” tanyaku ramah memberanikan diri mendekatinya.
Ia yang sedang serius tersentak kaget mendengar suaraku. Ia mendongakkan kepalanya dan kami bertatapan. Untuk pertama kalinya kami beradu pandang dengan jarak yang begitu dekat. Entah kenapa aku merasa begitu kenal dengan sorot mata itu. Untuk beberapa saat aku terus menatapnya, hingga akhirnya ia membuang wajah dan buru- buru menyelesaikan pekerjanya lalu pergi tanpa menjawab pertanyaanku.
Tatap mata itu terus membayangiku. Ribuan kali kuyakinkan diri jika itu bukan tatapan mata yang selama ini kucari. Aku pasti sudah berhalusinasi. Gak mungkin Mas Aan itu Andre. Ah Gila ! untuk apa aku lari sejauh ini untuk melupakannya jika kali ini aku harus terbuai dengan tatap mata itu.
Ternyata rasa penasaran lebih besar dari kata hatiku. Seharian ini aku memperhatikan tingkah laku Mas Aan. Gak mungkin dia Andre. Tubuhnya yang kurus jauh beda dengan Andre yang berisi. Belum lagi warna kulit Andre yang putih, rambut yang rapih tidak gondrong berantakan seperti itu. Juga jambang dan kumis yang menghiasi wajahnya. Andre benci sekali jika wajahnya ditumbuhi bulu halus. Ku tepuk jidatku sendiri, mungkin semua ini hanya pelampiasan rasa rinduku padanya.
Hari ini Ningsih memaksaku main kerumah Mas Aan untuk melihat koleksi buku yang dimilikinya. Rumahnya cukup bagus, rapi dan bersih. Saat kami tiba ada beberapa anak yamg sedang membaca di teras rumahnya yang asri. Ia membuat ruang tamunya sebagai taman bacaan. Banyak buku, novel, kamus hingga majalah tersusun rapi.
Mas Aan sedang tidak ada di rumah karena harus pergi ke kota untuk mengambil buku – buku baru. Ia mendapatkanya dari relawan yang suka menyumbang buku bagi desa – desa di wilayah Semarang. Kupergunakan kesempatan itu untuk mengelilingi rumahnya. Tidak ada foto siapapun tergantung di dinding. Saat melewati ruang tengah aku tercekat kaget melihat figura yang berisikan medali dan gelang yang dirangkai menjadi satu. jantungku berdetak tidak karuan, figura itu terletak di sudut ruangan hingga tidak terlalu terlihat, tapi aku sangat mengenal kedua benda yang berada di dalamnya. Gak mungkin ! … gak mungkin itu milik Andre. Dengan gemetar kuraih figura itu dan membaca nama yang terukir di bagian atas gelang “Andre Yugaswara “ . Astaga ! ini benar milik Andre, jadi Mas Aan itu adalah ……
“ Mbak Vina ! kita harus ke rumah sakit sekarang, Mas Aan kecelakaan !” teriakan Ningsih bagaikan bom yang meledak di kepalaku.
Langkahku seperti tidak menapak bumi. Jantungku seraya terbang entah kemana. Kejadian dua tahun lalu tergambar jelas kembali di hadapanku. Ya Tuhan, kenapa harus aku yang menerima semua ini ? aku tidak sanggup lagi … aku tidak sanggup menanggung beban dan cobaan untuk yang kedua kalinya. Mati – matian aku bangkit dari keterpurukan yang selama ini memelukku. Susah payah aku berlari sejauh ini untuk memulai hidup baruku, kenapa sekarang harus terjadi lagi ?.
Airmataku tidak berhentinya turun. Apa yang akan kukatakan pada Om Adi jika sesuatu yang buruk terjadi pada Andre ? apa yang harus ku lakukan jika harus menerima kenyatan menyakitkan hati.
Setelah hampir satu jam menunggu akhirnya dokter memberitahu jika Mas Aan hanya mengalami luka ringan. Ia sempat pingsan karena ada sedikit benturan tapi untunglah bukan gegar otak. Ningsih segera menelepon kepala desa untuk memberi kabar.
“ Syukurlah kamu cuma luka ringan “ ujarku pada sosok tubuh dihadapanku yang sedang memeriksa lenganya yang diperban. Ia menganguk kecil. Kutatap wajahnya dengan perasaan campur aduk.
“ Andre, kenapa kamu harus lari sejauh ini ?” ujarku tak tahan lagi dengan perasaanku. Aku kembali menangis. Ia menatapku lama hingga akhirnya mata itu memerah dan basah. Bibirnya bergetar seolah menahan sesuatu. Tanganya mengepal keras.
“ Kamu masih simpan medali terakhir dan gelang hadiah ulang tahun dariku “ isakku. Ia menundukkan wajahnya. Kuraih tanganya.
“ Banyak hal yang sudah terjadi “ ujarku pelan.
“ Aku tahu “ jawabnya parau.
Dengan suara terbata dan penuh sesal terurailah jika selama ini ia mendapatkan infromasi dari Reno tetangga sebelah rumah yang juga teman baiknya. Keadaan keluarga, kematian mamanya, hingga keputusan papanya untuk pulang kampung. Ia merasa amat bersalah dan menyesali semua tindakan bodohnya. Saat mengetahui mamanya meninggal ia memutuskan untuk tidak pernah kembali dan melupakan semuanya. Ia menganggap dirinya telah mati dan berubah menjadi sekarang hingga tak seorangpun mengenalinya.
“ Kamu salah, Dre ! Om Adi selalu berharap kamu kembali kapanpun kamu mau dan siap, hanya tinggal beliau orang tuamu, apa kamu gak ingin menghabiskan sisa hidupmu untuk menemaninya “ terangku berusaha memberinya pengertian.
Ia terdiam lama. Obrolan kami terhenti karena Ningsih dan Pak Kepala Desa tiba untuk menjemput karena ia sudah diperbolehkan pulang.
***
Tiga hari Andre tidak datang ke sekolah untuk mengajar. Aku sudah berjanji pada diriku untuk tidak memaksanya lagi. Kubiarkan ia memilih hidup sesuai pilihanya. Kalaupun ia harus lari lagi, aku ikhlas. Mungkin memang seperti inilah jalan cinta kami. Setidaknya aku bahagia saat mengetahui selama ini ia baik – baik saja.
Aku sedang menjemur pakaian saat melihat sosok tubuhnya berdiri di hadapanku. Ia mencukur seluruh jambang dan kumisnya. Ia juga membabat habis rambut gondrongnya. Ia benar – benar Andre yang selama ini ada dalam hati dan hidupku. Meski tubuh kurus dan kulit hitam sedikit membuatnya jelek tapi tatapan penuh cinta dan senyum itu kembali terhias disana.
Tak ada yang bisa kuungkapkan, hanya airmata bahagia yang terus mengalir . ia merengkuh tubuh dan memelukku.
“ Temani aku melewati semua ini, Vin “ bisiknya lirih.
Aku mengangguk keras. Ia mempererat pelukannya seolah tidak akan pernah lagi melepaskanku.
“ Kamu tidak akan sendirian, Dre ! aku janji !” ucapku dalam hati.
***
Di muat di Tabloid Gaul 2011

Tidak ada komentar :

Posting Komentar